“ Kinan !!” Sapa lelaki itu
sambil melambaikan kedua tangannya. Aku tersenyum menghampirinya.
“ Apa kabar? Sudah lama kita tak
bertemu ya.” Aku mengulurkan tanganku saat sampai di depan lelaki itu. Dia memandangku
lalu tertawa lepas. Diraihnya tanganku, kedua matanya berbinar - binar. Tampaknya dia sedang bahagia, batinku.
“ Seharusnya aku yang berkata
seperti itu padamu. Aku baik baik saja, kau bisa lihat sendiri. Bagaimana
denganmu? Bagaimana dengan sekolahmu? Masih lemah di bidang perhitungan kah?” Dia
memutarkan badannya lalu mengangkat sebelah alisnya. Dia tersenyum memamerkan
deretan gigi putihnya yang tersusun rapi itu. Aku menghela nafas. Sebenarnya siapa yang dewasa? Dia atau aku?
Sudah lama aku tak bertemu dengannya,
tapi tetap saja tingkahnya seperti anak kecil.
“ Aku? Aku baik baik saja. Ya,
baik baik saja dan masih dengan keadaan yang sama.” Ucapku malas. Dia menatapku
lama. Aku hanya memalingkan wajahku. Malu. Dia tersenyum, tapi kali ini
senyumnya berbeda. Tiba - tiba tangannya bergerak menuju kepalaku. Menepuk
bagian atas kepalaku dan mengacak - acak rambutku pelan.
“ Heii, jangan mengacak - acak
rambutku! Berapa kali harus kubilang padamu aku benci menyisir ulang
rambutku?!” gerutuku sambil menepis tangannya. Dia tertawa lebar. Aku cemberut
sembari merapikan kembali rambutku yang berantakan.
“ Hahaha, ternyata kau memang
belum berubah ya. Masih sama seperti dulu waktu kita sering bertemu.” Dia
mencubit hidungku gemas. Lalu kedua tangannya menangkup pipiku. Kepalanya
sedikit dimiringkan ke kanan. Aku menautkan kedua alisku sehingga tampak
kerutan di bagian dahi.
“ Pipinya juga sama. Masih
seperti bakpao. Hahahaha” ejeknya lagi. Kedua matanya menyipit, rona merah juga
merambat hingga telinganya, tangannya memegang perutnya karena terlalu banyak
tertawa. Oh astaga, kenapa dia tampak
sangat tampan saat tertawa. Apakah ini termasuk cobaan untuk bisa melupakannya?
Bagaimana bisa aku melewatinya jika dia kembali seperti ini?
Aku menghela napas lagi. Tawanya
mulai terhenti. Dia kembali memandangku, menatap tepat di manik mataku.
Tatapannya berubah tajam, seolah - olah sedang mencari sesuatu yang sedang aku
sembunyikan. Sudah hampir lima belas menit berlalu, tak ada sepatah kata apapun
yang terdengar selain bunyi angin malam. Ah,
aku tidak tahan lagi, aku harus mengakhirinya.
“ Apa yang sedang kau cari?
Berapa lama kita akan terdiam seperti ini?” tanyaku memecahkan suasana. Dia
menghela napasnya.
“ Aku sedang mencari sebuah kejujuran,
tapi yang kulihat di matamu hanyalah sebuah kebohongan belaka. Aku tahu, kau
tidak benar – benar dalam keadaan baik sekarang. Apakah pertemuan ini
menyulitkanmu?” tanyanya pelan. Seperti seorang pemanah yang ahli,
pertanyaannya melesat tepat pada sasaran. Aku tertawa miris. Ya, aku sedang tidak baik – baik saja dan itu karenamu, batinku.
“ Itu bukan urusanmu. Urusi saja
karir dan kuliahmu disana, jadi orang sukses. Bukankah itu yang kau inginkan
dari dulu?” tanyaku.
“ Tapi aku tak menginginkan kau
tampak sekalut ini. Aku tak bisa meninggalkanmu saat kau sendiri menyangkal
kenyataan ini. Oh ayolah, I know you so well Ki, bukankah kita sudah berteman
lama? Aku tahu aku sudah meninggalkanmu selama...”
“ Sewindu.” Sahutku tersenyum
miris.
“ Sudah sewindu Yos, bahkan
sampai sekarang semua yang ada padaku masih mengingatmu. Miris ya? Aku tahu
itu.” ujarku lagi. Dia tersentak kaget. Dia menoleh ke salah satu toko bunga
terdekat lalu berjalan ke toko tersebut.
“ Tunggu sebentar.” Ucapnya
sebelum masuk ke toko itu. Beberapa menit berlalu, dia kembali datang membawa
sebuket bunga di tangannya. Di dalam buket itu tampak bunga anyelir kesukaanku
dan beberapa tangkai bunga azalea. Dia berhenti tepat di depanku. Ia menghela
napasnya panjang. Diraihnya tanganku.
“ Ini untukmu.”
“ Dalam rangka apa kau memberiku
bunga? Ini bukan hari ulang tahunku.”
“ Say it with flowers. Masih
ingat tentang kata - kata yang kau ucapkan saat kita masih sering bernyanyi dan
bermain bersama?”
“ Aku ingat, tetapi apa maksudmu
melakukan semua ini Yos?” tanyaku heran. Lelaki yang kupanggil Yosa itu kembali
tersenyum dan memposisikan dirinya di dekat tiang lampu jalanan. Tubuhnya
bersandar di tiang itu, wajahnya menengadah ke atas memandangi langit yang
kelabu.
“ Aku tahu ini sangat sulit bagimu,
begitu juga aku, dan sebagai hadiahnya aku memberikan ini untukmu. Anggap saja
ini sebagai permintaan maafku dan pertemuan terakhirku. Anyelir merah muda
untuk awal pertemuan kita dan anyelir kuning sebagai perpisahan kita.”
Jelasnya. Aku terdiam memandangi sebuket bunga yang sudah berpindah ke
tanganku. Astaga, apakah ini perpisahan
keduaku dengannya? Perpisahan lagi? Tidak cukupkah ia membuatku sesakit ini?
Aku kira dia akan tetap bersamaku disini.
“ Bagaimana jika aku mengasihimu
sesederhana ini, dan selamanya akan terus begitu?” aku mengambil setangkai
bunga azalea lalu menyerahkannya pada lelaki itu. Ia tersenyum, kali ini matanya tampak sayu. Tak ada lagi
wajah ceria saat awal pertemuan tadi, yang kulihat hanyalah mendung. Aku tak
pernah melihatnya tampak sesedih ini sebelumnya.
“ Bukankah sudah ada dia yang
bisa menggantikan posisiku sekarang? Aku tahu kau sedang dekat dengan laki –
laki lain. Aku juga tahu itu bentuk usahamu melupakan kita, aku hargai itu.
Karena aku pun melakukan hal yang sama, walau mungkin dengan cara yang
berbeda.” Ujarnya pelan. Aku tersentak kaget. Mendengar ucapannya tadi berhasil
membuatku diam tak berkutik. Entah harus mulai darimana aku menjelaskannya. Aku
juga tahu ini bukanlah hal yang mudah.
Sudah sewindu sejak kepergiannya
aku belajar dewasa, sudah sewindu aku berjuang tanpanya, sudah sewindu pula aku
mencoba mengingatnya hanya sebatas kenangan, tetapi tetap saja posisinya takkan
terganti. Walaupun pada akhirnya akan ada laki – laki lain yang masuk dalam
hidupku, ia akan tetap memiliki satu tempat spesial. Karena dia bisa menjadi
sosok ayahku, sahabatku, kakakku, pembimbing belajarku, pacarku, ataupun hanya
sekadar teman main. Aku benci keadaan seperti ini. Aku benci setiap pertemuan
yang selalu berujung perpisahan, atau mungkin karena aku takut kehilangan. Aku
mencoba menatap kedua matanya. Namun sayang yang kudapat hanyalah luka, sama
sepertiku.
“ Bagaimana jika semua usahaku itu gagal? Bagaimana jika aku
akhirnya hanya akan menyakiti laki – laki itu? Aku takut Yos, aku takut.”
Kataku pelan. Kepalaku tertunduk tak berani menatapnya. Sudah lama aku ingin
mengatakan ini padanya. Entah keberanian darimana yang merasukiku hingga aku
mampu mengungkapkannya sekarang. Dia menoleh kearahku, menghela napasnya
panjang.
“ Kau pasti bisa Ki. Mana Kinan
yang selalu suka mencoba hal baru? Mana Kinan yang selalu pantang menyerah?
Mana Kinan yang selalu ingin bahagia? Mana Kinan yang...”
“ Mana Yosa yang selalu
membantuku belajar matematika? Mana Yosa yang selalu menyemangatiku saat aku
ada ujian? Mana Yosa yang selalu suka hujan? Mana Yosa yang selalu suka membuat
lagu baru? Mana Yosa yang selalu mengiringiku bernyanyi dengan gitar? Mana Yosa
yang selalu bernyanyi untukkku saat malam? Mana Yosa bisa membuatku putus asa
dan mencinta pada waktu yang sama? Mana Yos?!” bentakku padanya. Tetesan air
mulai turun membasahi pipiku. Entah sudah berapa lama aku membendungnya,
akhirnya tetap saja aku menangis. Menetes untuk kesekian kalinya untuk orang
yang sama. Rasa sesak itu kembali menjalar. Dia berjalan ke arahku, meraihku
dalam dekapannya erat.
“ Untuk apa aku bersamanya jika
aku masih berada dalam bayanganmu? Untuk apa aku berusaha melupakanmu jika
sifatnya sama sepertimu Yos? Untuk apa aku bersamanya jika aku malah semakin
mengingatmu saat berada di dekatnya? Bukankah itu hanya akan membuat aku merasa
bersalah padanya?” kataku lirih. Dia
hanya diam seperti biasanya, mengelus bagian belakang kepalaku pelan,
membiarkanku menangis hingga lelah dalam pelukannya. Beberapa menit berlalu,
tangisku mereda seiring pelukannya yang semakin merenggang.
“ Sekarang hatimu benar – benar
patah bukan? Jadi, dongeng kita sudah berakhir. Benar – benar berakhir. Sekarang
yang tersisa dari cerita ini adalah kamu, karena aku terlalu hina. Adalah kamu,
karena aku hanya akan menghancurkan semuanya. Bangun cerita barumu Ki, aku tahu
dengan atau tanpamu semua pasti berbeda.” Dia mengusap sisa tetesan air mata
yang masih mengalir di pipiku. Aku tersenyum, kali ini aku mengerti maksud
kedatangannya kembali. Ia ingin
menuntaskan semua persoalannya denganku. Lalu memulai kehidupan baru tanpa
perlu terbeban masa lalu.
“ Ya, aku benar – benar patah.
Sekarang aku paham bagaimana rasanya benar – benar kehilangan dan benar – benar
patah. Bersamamu membuat sadar bagaimana cinta datang secara terbiasa, tanpamu
membuatku mengerti selama sewindu yang kau ciptakan hanyalah sebuah retakan.
Retak itu berbeda dengan patah. Retak itu tak dapat diperbaiki karena ia belum
sepenuhnya patah. Ia hanya akan menyisakan bekas - bekas luka yang tak akan
hilang sebelum kau benar – benar membuatnya patah. Setelah patah barulah ia
bisa diperbaiki dengan yang baru bukan?” kataku sambil tersenyum. Ia ikut
tersenyum.
“ Ya tentu, maaf jika selama ini
aku sering membuatmu menangis. Pertemuan ini berakhir, terima kasih gadis
terkasihku. Tetaplah jadi gadis misterius, gadis yang penuh kejutan di setiap
waktunya, sejujurnya itu daya tarikmu. Aku mengasihimu Kinan.” Katanya sambil
melangkah menjauh dariku. Langkahnya semakin menghilang di ujung perempatan
jalan.
Aku terdiam, mungkin ucapannya
memang ada benarnya. Aku harus menulis kembali cerita yang baru di lembar yang
baru pula. Tak mungkin aku menulis sebuah cerita baru di kertas yang lusuh. Itu
hanya akan membuatku tampak seperti aksara yang tak ingin dibaca orang. Aku tak
begitu yakin bisa melewati ini seperti yang sudah kulalui selama sewindu ini,
tetapi ketika melihatnya seoptimis itu aku percaya yang dikatakannya adalah
kebenaran.
Di bawah sinar purnama yang
sempurna, kisahku kembali berawal dari sini. Kehidupan itu berjalan sekali dan
terlalu singkat untuk terus mengikuti cerita lalu. Kini biarkan aku dikejar
masa depan tanpa terlalu sering bermain di masa lalu. Aku mengasihimu.