Sabtu, 27 Juli 2019

Kabar Kabarin

Halloooo
Eh udah lama ya ga ketemu, hehehe. Makasih buat semua readers yang nyempetin waktunya terbuang sia-sia disini :)
Kalau dibaca baca tulisan di blog ini udah lama banget sih ya, tadinya sih pingin ngehapus aja soalnya geli sama tulisan sendiri, tapi sayang :( ya udah deh akhirnya aku pindah blog sebelah aja hehehe. Biar tetep bisa nulis dengan kehidupan yang baru.
Kalau masih mau baca baca tulisanku bisa ke blog terbaru nih yaaa. Udah gitu aja. Sekian dari aku yang hina ini.

bye, see you when I see you. cheer up !



Love,
writer

Jumat, 17 Maret 2017

Aku Tidak Tahu

Aku bertanya kepada angin gila,
Tapi mengapa jawabnya hanyalah daun yang bergoyang?

Aku bertanya kepada bulan,
Tapi mengapa jawabnya hanyalah diam?

Aku bertanya kepada laut biru,
Tapi mengapa jawabnya hanyalah ombak menderu?

Aku bertanya pada langit kelabu?
Tapi mengapa jawabnya hanyalah sendu?

Aku bertanya kepada waktu ,
Tapi mengapa jawabnya hanyalah rindu?

Aku bertanya kepada luka,
Tapi mengapa hanya ada duka diantara tanya?

Aku bertanya
Kasih, kamu dimana?
Tapi mengapa tiada jawabnya?

Aku bertanya
Kasih, sedang apa?
Tapi mengapa tanya itu tak berbalas?

Aku bertanya
Kasih, akankah kita bertemu?
Tapi mengapa yang kulihat hanya janji semu?

Aku bertanya
Kasih, wanita itu siapa?
Tapi mengapa jawabnya hanyalah tawa?

Aku bertanya,
Tapi mengapa?

Sabtu, 30 Juli 2016

Sewindu Tanpamu


“ Kinan !!” Sapa lelaki itu sambil melambaikan kedua tangannya. Aku tersenyum menghampirinya.
“ Apa kabar? Sudah lama kita tak bertemu ya.” Aku mengulurkan tanganku saat sampai di depan lelaki itu. Dia memandangku lalu tertawa lepas. Diraihnya tanganku, kedua matanya berbinar - binar. Tampaknya dia sedang bahagia, batinku.

“ Seharusnya aku yang berkata seperti itu padamu. Aku baik baik saja, kau bisa lihat sendiri. Bagaimana denganmu? Bagaimana dengan sekolahmu? Masih lemah di bidang perhitungan kah?” Dia memutarkan badannya lalu mengangkat sebelah alisnya. Dia tersenyum memamerkan deretan gigi putihnya yang tersusun rapi itu. Aku menghela nafas. Sebenarnya siapa yang dewasa? Dia atau aku? Sudah lama  aku tak bertemu dengannya, tapi tetap saja tingkahnya seperti anak kecil.

“ Aku? Aku baik baik saja. Ya, baik baik saja dan masih dengan keadaan yang sama.” Ucapku malas. Dia menatapku lama. Aku hanya memalingkan wajahku. Malu. Dia tersenyum, tapi kali ini senyumnya berbeda. Tiba - tiba tangannya bergerak menuju kepalaku. Menepuk bagian atas kepalaku dan mengacak - acak rambutku pelan.

“ Heii, jangan mengacak - acak rambutku! Berapa kali harus kubilang padamu aku benci menyisir ulang rambutku?!” gerutuku sambil menepis tangannya. Dia tertawa lebar. Aku cemberut sembari merapikan kembali rambutku yang berantakan.

“ Hahaha, ternyata kau memang belum berubah ya. Masih sama seperti dulu waktu kita sering bertemu.” Dia mencubit hidungku gemas. Lalu kedua tangannya menangkup pipiku. Kepalanya sedikit dimiringkan ke kanan. Aku menautkan kedua alisku sehingga tampak kerutan di bagian dahi.
“ Pipinya juga sama. Masih seperti bakpao. Hahahaha” ejeknya lagi. Kedua matanya menyipit, rona merah juga merambat hingga telinganya, tangannya memegang perutnya karena terlalu banyak tertawa. Oh astaga, kenapa dia tampak sangat tampan saat tertawa. Apakah ini termasuk cobaan untuk bisa melupakannya? Bagaimana bisa aku melewatinya jika dia kembali seperti ini?

Aku menghela napas lagi. Tawanya mulai terhenti. Dia kembali memandangku, menatap tepat di manik mataku. Tatapannya berubah tajam, seolah - olah sedang mencari sesuatu yang sedang aku sembunyikan. Sudah hampir lima belas menit berlalu, tak ada sepatah kata apapun yang terdengar selain bunyi angin malam. Ah, aku tidak tahan lagi, aku harus mengakhirinya.

“ Apa yang sedang kau cari? Berapa lama kita akan terdiam seperti ini?” tanyaku memecahkan suasana. Dia menghela napasnya.

“ Aku sedang mencari sebuah kejujuran, tapi yang kulihat di matamu hanyalah sebuah kebohongan belaka. Aku tahu, kau tidak benar – benar dalam keadaan baik sekarang. Apakah pertemuan ini menyulitkanmu?” tanyanya pelan. Seperti seorang pemanah yang ahli, pertanyaannya melesat tepat pada sasaran. Aku tertawa miris. Ya, aku sedang tidak baik – baik saja dan itu karenamu, batinku.

“ Itu bukan urusanmu. Urusi saja karir dan kuliahmu disana, jadi orang sukses. Bukankah itu yang kau inginkan dari dulu?” tanyaku.

“ Tapi aku tak menginginkan kau tampak sekalut ini. Aku tak bisa meninggalkanmu saat kau sendiri menyangkal kenyataan ini. Oh ayolah, I know you so well Ki, bukankah kita sudah berteman lama? Aku tahu aku sudah meninggalkanmu selama...”

“ Sewindu.” Sahutku tersenyum miris.

“ Sudah sewindu Yos, bahkan sampai sekarang semua yang ada padaku masih mengingatmu. Miris ya? Aku tahu itu.” ujarku lagi. Dia tersentak kaget. Dia menoleh ke salah satu toko bunga terdekat lalu berjalan ke toko tersebut.

“ Tunggu sebentar.” Ucapnya sebelum masuk ke toko itu. Beberapa menit berlalu, dia kembali datang membawa sebuket bunga di tangannya. Di dalam buket itu tampak bunga anyelir kesukaanku dan beberapa tangkai bunga azalea. Dia berhenti tepat di depanku. Ia menghela napasnya panjang. Diraihnya tanganku.

“ Ini untukmu.”

“ Dalam rangka apa kau memberiku bunga? Ini bukan hari ulang tahunku.”

“ Say it with flowers. Masih ingat tentang kata - kata yang kau ucapkan saat kita masih sering bernyanyi dan bermain bersama?”

“ Aku ingat, tetapi apa maksudmu melakukan semua ini Yos?” tanyaku heran. Lelaki yang kupanggil Yosa itu kembali tersenyum dan memposisikan dirinya di dekat tiang lampu jalanan. Tubuhnya bersandar di tiang itu, wajahnya menengadah ke atas memandangi langit yang kelabu.

“ Aku tahu ini sangat sulit bagimu, begitu juga aku, dan sebagai hadiahnya aku memberikan ini untukmu. Anggap saja ini sebagai permintaan maafku dan pertemuan terakhirku. Anyelir merah muda untuk awal pertemuan kita dan anyelir kuning sebagai perpisahan kita.” Jelasnya. Aku terdiam memandangi sebuket bunga yang sudah berpindah ke tanganku. Astaga, apakah ini perpisahan keduaku dengannya? Perpisahan lagi? Tidak cukupkah ia membuatku sesakit ini? Aku kira dia akan tetap bersamaku disini.

“ Bagaimana jika aku mengasihimu sesederhana ini, dan selamanya akan terus begitu?” aku mengambil setangkai bunga azalea lalu menyerahkannya pada lelaki itu. Ia tersenyum,  kali ini matanya tampak sayu. Tak ada lagi wajah ceria saat awal pertemuan tadi, yang kulihat hanyalah mendung. Aku tak pernah melihatnya tampak sesedih ini sebelumnya.

“ Bukankah sudah ada dia yang bisa menggantikan posisiku sekarang? Aku tahu kau sedang dekat dengan laki – laki lain. Aku juga tahu itu bentuk usahamu melupakan kita, aku hargai itu. Karena aku pun melakukan hal yang sama, walau mungkin dengan cara yang berbeda.” Ujarnya pelan. Aku tersentak kaget. Mendengar ucapannya tadi berhasil membuatku diam tak berkutik. Entah harus mulai darimana aku menjelaskannya. Aku juga tahu ini bukanlah hal yang mudah.

Sudah sewindu sejak kepergiannya aku belajar dewasa, sudah sewindu aku berjuang tanpanya, sudah sewindu pula aku mencoba mengingatnya hanya sebatas kenangan, tetapi tetap saja posisinya takkan terganti. Walaupun pada akhirnya akan ada laki – laki lain yang masuk dalam hidupku, ia akan tetap memiliki satu tempat spesial. Karena dia bisa menjadi sosok ayahku, sahabatku, kakakku, pembimbing belajarku, pacarku, ataupun hanya sekadar teman main. Aku benci keadaan seperti ini. Aku benci setiap pertemuan yang selalu berujung perpisahan, atau mungkin karena aku takut kehilangan. Aku mencoba menatap kedua matanya. Namun sayang yang kudapat hanyalah luka, sama sepertiku.

“ Bagaimana jika  semua usahaku itu gagal? Bagaimana jika aku akhirnya hanya akan menyakiti laki – laki itu? Aku takut Yos, aku takut.” Kataku pelan. Kepalaku tertunduk tak berani menatapnya. Sudah lama aku ingin mengatakan ini padanya. Entah keberanian darimana yang merasukiku hingga aku mampu mengungkapkannya sekarang. Dia menoleh kearahku, menghela napasnya panjang.

“ Kau pasti bisa Ki. Mana Kinan yang selalu suka mencoba hal baru? Mana Kinan yang selalu pantang menyerah? Mana Kinan yang selalu ingin bahagia? Mana Kinan yang...”

“ Mana Yosa yang selalu membantuku belajar matematika? Mana Yosa yang selalu menyemangatiku saat aku ada ujian? Mana Yosa yang selalu suka hujan? Mana Yosa yang selalu suka membuat lagu baru? Mana Yosa yang selalu mengiringiku bernyanyi dengan gitar? Mana Yosa yang selalu bernyanyi untukkku saat malam? Mana Yosa bisa membuatku putus asa dan mencinta pada waktu yang sama? Mana Yos?!” bentakku padanya. Tetesan air mulai turun membasahi pipiku. Entah sudah berapa lama aku membendungnya, akhirnya tetap saja aku menangis. Menetes untuk kesekian kalinya untuk orang yang sama. Rasa sesak itu kembali menjalar. Dia berjalan ke arahku, meraihku dalam dekapannya erat.

“ Untuk apa aku bersamanya jika aku masih berada dalam bayanganmu? Untuk apa aku berusaha melupakanmu jika sifatnya sama sepertimu Yos? Untuk apa aku bersamanya jika aku malah semakin mengingatmu saat berada di dekatnya? Bukankah itu hanya akan membuat aku merasa bersalah padanya?” kataku lirih.  Dia hanya diam seperti biasanya, mengelus bagian belakang kepalaku pelan, membiarkanku menangis hingga lelah dalam pelukannya. Beberapa menit berlalu, tangisku mereda seiring pelukannya yang semakin merenggang.

“ Sekarang hatimu benar – benar patah bukan? Jadi, dongeng kita sudah berakhir. Benar – benar berakhir. Sekarang yang tersisa dari cerita ini adalah kamu, karena aku terlalu hina. Adalah kamu, karena aku hanya akan menghancurkan semuanya. Bangun cerita barumu Ki, aku tahu dengan atau tanpamu semua pasti berbeda.” Dia mengusap sisa tetesan air mata yang masih mengalir di pipiku. Aku tersenyum, kali ini aku mengerti maksud kedatangannya kembali. Ia  ingin menuntaskan semua persoalannya denganku. Lalu memulai kehidupan baru tanpa perlu terbeban masa lalu.

“ Ya, aku benar – benar patah. Sekarang aku paham bagaimana rasanya benar – benar kehilangan dan benar – benar patah. Bersamamu membuat sadar bagaimana cinta datang secara terbiasa, tanpamu membuatku mengerti selama sewindu yang kau ciptakan hanyalah sebuah retakan. Retak itu berbeda dengan patah. Retak itu tak dapat diperbaiki karena ia belum sepenuhnya patah. Ia hanya akan menyisakan bekas - bekas luka yang tak akan hilang sebelum kau benar – benar membuatnya patah. Setelah patah barulah ia bisa diperbaiki dengan yang baru bukan?” kataku sambil tersenyum. Ia ikut tersenyum.

“ Ya tentu, maaf jika selama ini aku sering membuatmu menangis. Pertemuan ini berakhir, terima kasih gadis terkasihku. Tetaplah jadi gadis misterius, gadis yang penuh kejutan di setiap waktunya, sejujurnya itu daya tarikmu. Aku mengasihimu Kinan.” Katanya sambil melangkah menjauh dariku. Langkahnya semakin menghilang di ujung perempatan jalan.

Aku terdiam, mungkin ucapannya memang ada benarnya. Aku harus menulis kembali cerita yang baru di lembar yang baru pula. Tak mungkin aku menulis sebuah cerita baru di kertas yang lusuh. Itu hanya akan membuatku tampak seperti aksara yang tak ingin dibaca orang. Aku tak begitu yakin bisa melewati ini seperti yang sudah kulalui selama sewindu ini, tetapi ketika melihatnya seoptimis itu aku percaya yang dikatakannya adalah kebenaran.


Di bawah sinar purnama yang sempurna, kisahku kembali berawal dari sini. Kehidupan itu berjalan sekali dan terlalu singkat untuk terus mengikuti cerita lalu. Kini biarkan aku dikejar masa depan tanpa terlalu sering bermain di masa lalu. Aku mengasihimu.

Minggu, 10 April 2016

Menyapa Senja


Teruntuk senja yang jingga,

Hai, apa kabar senja? Bukankah kita sudah lama tak bertemu? Oh, aku lupa. Aku lupa bahwa kita selalu bertemu. Bertemu di tempat yang sama namun tak pernah bertegur sapa. Bertemu di waktu yang sama namun hanya memandang mata. Bertemu di rasa yang sama namun tak sanggup berkata.
Tahun lalu, aku masih ingat ketika aku bersamamu senja. Tertawa lepas tanpa alasan. Beradu mulut tanpa takut ada yang terluka. Berdua tanpa peduli apa yang mereka katakan tentang kita. Kita masih sedekat nadi. Masih ada kata kita diantara kata. Masih ada. Masih sebelum akhirnya kita saling melepas. Melepas semua rasa yang kau pendam. Melepas semua. Mungkin yang tersisa adalah aku yang tak pernah mengerti dan kau yang berhenti peduli. Kau yang berpaling padanya dan berkata bahwa takkan ada cinta yang lain lagi.

 Kau yang berkata bahwa cintamu telah terganti. Kau yang merasa bahwa kita tak sehati. Katamu rasa ini mati. Sudah terlalu lama terbalut sendu yang kubuat sendiri. Katamu aku tak pernah mengerti. Tak pernah mengerti bahwa ini bukan ilusi. Ini bukanlah sebuah mimpi. Separuhnya kau benar, separuhnya kau salah. Kau benar, aku tak pernah peduli. Tentang rasamu, tentangmu yang selalu memandangku, tentangmu dan secangkir kopi kesukaanmu. Kau salah,  ingin aku tanyakan padamu, apakah kau sadar bahwa kau tak pernah mengungkapkan rasamu padaku? Apakah ini sepenuhnya salahku? Salahku yang tak pernah sadar kau mengungkapkan lewat lakumu. Kau bukan satu satunya yang terluka. Sadarkah kau di balik gadis bodoh ini tersimpan sosok perempuan yang tak ingin kau sakit? Sadarkah kau bahwa dalam diriku yang mungkin tak pernah berarti apapun bagimu ini ada seorang perempuan yang sedang menjaga cintanya hanya untukmu satu-satunya? Sadarkah kau bahwa dalam rumitnya sikapku, tersembunyi seorang perempuan yang ingin kau seperhatian dulu lagi. Sadarkah kau, aku sendiri menahan nyeri. Berulang kulafal rasa sesaknya sama. Sadar pada akhirnya aku akan sendiri.

Tapi lihat dan dengarlah senja.
Jika kau sekarang berpikir bahwa kau mengagumiku, mungkin jawabannya iya. Jika kau berpikir bahwa kau memujaku, mungkin jawabannya iya. Dan jika kau berpikir bahwa rasa kagummu itu berubah menjadi cinta, maka jawabannya tidak.
Kau tidak benar benar mencintaiku senja. Apakah itu uangku, nama, dan gengsi yang kau dapatkan karena mendapatkanku, ataukah rupaku, aku tidak tahu, tetapi yang jelas, itu bukan cinta.
Karena, jika kau cinta kepadaku, maka kau akan berusaha begitu keras untuk membuat yang kau cintai berpaling kepadamu, tidak berjalan ke arah orang lain. Berusaha begitu keras sehingga rasanya dirimu hampir gila. Hingga terkadang, ada saatnya kau ingin lari ke pelukan orang lain saja. Kau lelah mempertahankan segalanya ketika perlahan lahan, tetapi pasti, segalanya hancur di depan matamu tanpa kau tahu mengapa. Dan, ketika kau pergi ke pelukan orang lain, kau tahu segalanya tidak mungkin bisa jika hanya cinta selewat dan main main.
Tetapi, ketika kau gagal mempertahankan cintamu, dan cintamu itu pergi, kau akan memperhatikannya dari jauh, sambil mengutuk keras dalam hati. Kesal dan amarah ada padamu. Tetapi, jika cintamu berkata kepadamu bahwa ia menginginkan orang lain, kau hanya akan mengangguk, kau berharap cintamu kan bahagia bersama orang lain itu. Dan kau takkan memaksanya kembali ke dalam pelukanmu lagi walau hatimu berkata tidak.

Dari perempuan ,

yang selalu berubah menjadi sedingin es pada senja.

Rabu, 14 Oktober 2015

Analogi Rasa



Kali ini kau merangkai kata. kau menggores pena. kau biarkan tanganmu menari dalam dimensi cerita. Pernahkah kau tanyakan pada hati. Apa itu esensi ? Kau menulis karya atau sekedar menuangkan imajinasi semata? Kau menulis karena hatimu berbisik atau hanya untuk membuatmu menarik? Kau menulis mengutamakan makna atau ingin membuang waktumu sia sia?

Pernahkah hatimu bertanya, Apa itu rasa? Aku menyebutnya dengan rasa tak bernama. Mulai dari hal sederhana. Bukan satu cerita, bukan satu paragraf, bukan satu kalimat. Tapi kata. Bagaimana rasa dari sebuah kata? Kita lemah dengan kata. Kata kita diantara tanya. Barangkali, rasa itu seperti menulis cerita. Kau berani biarkan jarimu merangkai kata. Kau biarkan mulutmu ungkapkan rasa. Kau biarkan hatimu berimajinasi untuk sementara.

Tanpa menulis imajinasimu terkikis. Tanpa ditulis rasa itu hilang terkikis. Seperti diam diam mencinta namun mendamba. Rasamu hanya akan berjalan di tempatnya semula. Dengan menulis gelisahmu kian menyapa. Pencerca dimana mana. Seperti mencintai tanpa dihargai. Rasamu hanya akan berakhir di relung elegi.

Seringkali kudengar, orang berkata," Tulisanmu buruk.". Katanya itu tempa. Bagiku itu hanya pengiring luka. Di sudut ruang, aku ingin menulis. Lupakan semua luka usang. Enyahkan sudut hati yang bimbang. Menulis, menulis, dan menulis. Tak ingat bila hati terkikis. Pernahkah kau tanyakan pada hati, untuk siapa kau menulis? Mungkin hati akan menjawab kau menulis karena orang. Pada akhirnya kita akan tahu kapan diri senang saat hati dan tangan berpadu. pada akhirnya kita yang paling tahu kapan jari menari dengan hati menggebu.

Senin, 27 April 2015

Suatu Petang di Kotaku


Ini tentang kita. Kita yang dulu pernah bertemu dalam nuansa hening di kotaku. Segala pertemuan kita berawal dari sebuah tatap. Tatapan mata yang tanpa arti, tanpa rasa, dan tanpa apapun. Tatapanmu hampa. Beranjak pada sebuah perkenalan sederhana. Kau memulai memperkenalkan dirimu secara perlahan dan aku sendiri hanya bisa terdiam. Aku terpukau pada awal pertemuan kita. Dengan segala prestasi yang melekat erat pada pundakmu dibingkai dengan wajah tampanmu itu, ah, kau bisa membuatku luluh begitu cepat.
Dan hari itu juga adalah pertemuan kita yang  pertama dan terakhir. Karena setelah pertemuan itu kau tak lagi ada. Dan kau takkan lagi ada. Sudah berulang kali aku mencoba mencarimu di tempat yang sama, di kota yang sama, dan pada jam yang sama tapi tak ada satupun yang berhasil. Sering kali aku salah, kukira orang yang kulihat sekilas itu kamu tapi nyatanya itu hanya imajinasiku. Aku terlalu sering memikirkanmu. Aku tak dapat menemukanmu. Dan aku menyerah. Aku takkan lagi mencarimu, mungkin kita yang dulu bertemu di kota ini hanya untuk sekedar bertukar cerita atau mungkin memang aku yang terlalu banyak berharap darimu. Tapi aku masih berada dalam sebuah ketidakpastian. Aku masih bersama bayang bayangmu yang semu. Aku mencintaimu. Entah kenapa.
Hari ini di kotaku...
Entah kenapa sekarang kau berada disampingku tanpa perlu aku mencarimu lagi. Suasana hujan yang sama dan hari yang sama kembali mengingatkanku saat pertemuan pertama kita. Bau tanah  menambah suasana nyaman untuk menikmati anugerah Tuhan yang tercurah lewat butiran- butiran  air dari langit. Ini satu tahun pertemuan kita. Percaya atau tidak aku masih menunggumu selama ini. Semua masih sama, kau masih tampak seperti yang dulu. Pria tampan berselimutkan prestasi hebatmu. Hanya saja, aku merasakan ada yang berbeda. Entah di bagian mana, aku hanya merasakan tatapan itu tak lagi seperti dulu. Rasanya posisi kita bukan lagi menjadi seorang teman tetapi terasa seperti seorang senior yang sedang mendidik juniornya. Kau hanya datang memberikan secarik kertas, menjelaskan semua isi kertas, dan kemudian terdiam disampingku. Aku tak tahu apa yang sedang kau lakukan. Jika bibr ini mampu bertanya, aku akan bertanya padamu apa maksud semua kedatanganmu kali ini.
Seandainya saja kau itu seperti hujan, selalu kurindu kedatangannya, yang selalu setia menemaniku saat awan mendung mulai beranjak pergi. Kau menahanku untuk tetap tinggal di kota ini dengan bulir bulir air yang turun. Butiran air yang berisikan semangat, canda tawa, kepercayaan, kisah sedih dan bahkan kisah yang salah diantara kita. Sikapmu seperti aliran air hujan yang terkadang jatuh perlahan tapi pasti. Datang perlahan membawa rasa dari langit lalu mengalir deras ke segala arah untuk mengepungku. Membiarkanku untuk menunggu walau berapa pun jarak dan waktu  yang akan aku lewati. Ketika hujan pergi, ia tak pernah lupa menaruhkan busur perjanjiannya dengan tujuh warna berbeda tetapi punya satu keindahan yang seharusnya tak boleh dilewatkan. Bukankah itu ilustrasi yang terlalu tinggi? Bagaimana dengan kenyataan yang sebenarnya terjadi? nyatanya semua itu tak pernah terjadi. Kau datang secepat cahaya kilat dan pergi meninggalkan suara menggelegarmu itu. Meninggalkan perubahan perubahan yang membuatku sempat terluka.
Aku kembali rapuh saat hujan hari ini mereda. Itu artinya pertemuan yang dingin ini akan segera berakhir. Entah apa yang kurasakan hari ini. Aku senang melihatmu kembali tapi disisi lain aku merasa kamu bukan lagi seorang teman yang dulu kukenal. Sikapmu yang dulunya sangat humble, peduli, kini berubah menjadi pendiam dan cuek. Aku harap ini hanya sebuah drama, hanya sebuah rekayasa belaka. Aku takut, ya aku takut jika kau memang benar benar tak mengharapkan pertemuan ini terjadi. Jika memang jarak yang menyusahkan pertemuan ini, kau sendiri pernah berkata jarak itu tak ada artinya, dia cuma sebatas nama pohon yang takkan pernah bisa memisahkan hubungan seseorang dengan yang lainnya.
Tapi tak bisa aku pungkiri, ada rindu yang diam diam tertanam ketika ragamu tak mampu kurengkuh, ketika kehadiranmu tak selalu aku rasakan. Apa yang menyenangkan dalam jarak sejauh ini? Kita seperti gedung gedung tinggi di Jakarta, saling berhadapan tapi enggan bersentuhan. Sejauh ini aku masih bisa bertahan, entah mempertahankan apa. Kulakukan semua seakan baik baik saja, seakan aku tak terluka, seakan tak ada air mata. Sudah saatnya. Aku dan kamu kembali mengakhiri pertemuan kita, entah kapan kita bisa bertemu kembali. Suatu petang di batas kotaku, kita berpisah ( lagi).

Kamis, 23 April 2015

Seribu Origami


“ Sama halnya dengan seribu origami yang mewujudkan satu harapan, seribu rangkaian jala mimpi mewujudkan satu ide brilian. ”
Pernah membuat origami burung ? Pernah mencoba membuatnya sampai berjumlah seribu origami? Mungkin sebelum kita membuatnya kita punya suatu hal yang sudah lama kita inginkan. Harapan. Sebuah harapan yang sudah sejak lama tertanam dalam jati diri kita namun belum sempat terwujud. Dan dari semua harapan itulah yang membuat kita memiliki niat yang besar untuk berhasil membuat seribu origami dengan kedua tangan kita. Kedua tangan yang terus mencoba melipat sisi sisi kertas dan berakhir sempurna. Seribu origami burung telah selesai sempurna.
Bukankah sangat menyenangkan dan melegakan bisa membuat seribu origami secara sempurna? Rasa itu pasti hadir saat kita berhasil membuatnya. Namun pernahkah kalian merasa kecewa saat kalian telah membuat seribu origami sempurna namun satu harapan yang seharusnya terwujud itu takkan pernah bisa terwujud? Aku pernah. Aku pernah membuatnya. Aku pernah menaruh satu harapan didalamnya. Seribu origami burung yang sempurna namun takkan lagi sempurna. Terlalu polos memang untuk sekedar percaya pada sebuah mitos. Tapi dibalik satu harapan yang tak terwujud ada banyak pelajaran yang bisa diambil untuk kehidupan kita ke depannya. Ya, walau sempat kecewa karena gagal mendapatkan apa yang aku mau, setidaknya aku masih punya satu hal yang dapat aku bagikan dengan kalian.
Dan sekarang waktunya memutar ulang proses pembuatannya. Sedikit flashback tapi tak berarti gagal move on. Seperti dalam sebuah film, ada satu kata mutiara yang bilang begini “ ideologi itu damai, tapi sejarah itu kejam.”. bukankah itu benar terjadi? Dalam  sejarah kehidupan kita sendiri? Sejarah itu menceritakan waktu lampau. Dan waktu lampau itu sendiri, dimulai dari segala siksaan penjajah, kerja paksa, sampai sekarang mungkin kita tak merasa dijajah oleh penjajah karena kita sudah merdeka. Tapi apakah sebenarnya kita sudah benar benar merdeka? Kau tahu jawabnya? Kita masih dijajah diri kita sendiri. Dan aku rasa flashback ini sudah sangat jauh dan sangat berbasa basi bila aku tetap melanjutkan flashback itu dengan kata kata puitis. Karena jujur saja, aku tak pandai dalam merangkai kata indah seperti seorang penyair. Ya, cukup kata sederhana tapi bermakna.
Ini kesanku tentang origami. Sebuah kertas lipat biasa yang masih bersih tanpa noda seolah menggambarkan sewaktu kita kecil, kita masih anak anak dengan muka polos belum mengerti apa itu harapan, apa itu cita cita, apa itu masa depan, dan apa itu kecewa. Sampai suatu saat kertas itu mulai dilipat untuk membentuk suatu kerangka awal origami. Kita mulai mengerti tentang sebuah asa dan kita mulai menuliskannya dalam setiap lembar kehidupan kita. Setelah itu, kertas yang tadinya hanya sebuah kerangka awal kini dibentuk sedemikian rupa menyerupai seekor burung yang akan terbang, semakin rumit dan semakin sulit. Banyak diantara kita yang sering gagal dan mengeluh pada proses ini. Berapa puluh lembar yang kalian buang karena gagal mencoba proses ini? Atau mungkin kalian malah memutuskan untuk tidak melanjutkan proses ini karena kalian merasa terlalu sulit? Sama seperti kehidupan kita sekarang. Ini adalah proses utama kita untuk mencapai harapan kita, mencapai suatu kata sempurna. Terus mencoba sampai berhasil, terus terus dan terus. Dan sampai akhirnya sebuah origami terselesaikan dengan sempurna. Harapan untuk mendapatkan hasil terbaik dari usaha kita terwujud.
Itu baru satu origami, bagaimana dengan sembilan ratus sembilan puluh sembilan origami burung lainnya? Ini yang namanya tantangan. Tebarkan jala mimpimu, tangkaplah berbagai ide brilian untuk menyelesaikannya. Seribu origami mengajarkanku kalau sebenarnya sebuah harapan dikatakan terwujud dengan sempurna dilihat dari sebuah perjuangan dibalik keberhasilannya. Seberapa jauh mau berpikir, itu pula yang akan tercapai. So, what you see is what you get. Explode your self! Think and create your future. 

Rabu, 18 Februari 2015

Mengagumimu Dalam Diamku

Hati tidak memilih. Hati dipilih. Karena hati tidak perlu memilih, ia selalu tahu kemana harus berlabuh.
Apa kabar senja? Disini aku masih merindukanmu. Disini aku masih menanti kehadiranmu. Dan disini aku masih ditemani kawanmu. Sebuah gitar dan segelas coklat hangat. Rasanya bukan hal yang aneh lagi bagiku menikmati suasana seperti ini. Memegang sebuah gitar dan mulai bersenandung. Nada nada yang terurai indah dari petikan dawai menambah suasana nyaman di ruangan ini. Namun kali ini aku merasakan hal yang berbeda. Seseorang berwajah tampan tersenyum simpul karena melihatku sedang asyik memainkan alat musik yang memang sudah sangat akrab denganku. Dia duduk tepat di depanku. Memandangiku seolah aku adalah sebuah lukisan yang sedang dipamerkan dalam sebuah festival lukisan. Kemudian kembali tersenyum. Dan aku sendiri, ah aku terhanyut dalam pesonanya.
Detik itu, menit itu, hari itu adalah awal dimana aku mulai mengagumimu dalam diamku. Entah mulai darimana aku harus menjelaskannya padamu, tapi ini yang sudah terjadi. Rasa kagum itu masih terpendam sampai sekarang. Aku hanya tak ingin kau tahu tentang rasaku. Karena jikalau kau sudah tahu tentangku, apa yang akan kau lakukan? Menjauhiku seperti orang orang yang lain? Atau tetap menjalani hari seperti biasa walau rasa canggung itu melekat erat dalam dirimu?. Ah, aku terlalu takut untuk itu. Dalam diamku, bukan berarti aku tak menyayangimu sepenuhnya. Dalam diamku, bukan berarti aku tak peduli bila ada seseorang selain aku yang juga sangat menyayangimu. Dalam diamku, aku hanya ingin menjadi pemuja rahasiamu yang selalu dapat menikmati pesonamu sampai masa lelahku. Dan dalam diamku, aku masih terngiang ngiang satu pertanyaan, apakah hatiku telah dipilih olehmu?

Karena hatiku masih menunggumu untuk memilihku. Tapi jangan paksakan untuk memilihku jika ada yang memaksamu melakukan hal itu. Dua hati dapat saling memilih dan dipilih dengan sendirinya. It comes naturally. Tanpa berkata “hatiku telah memilihmu”, hatimu sudah dipilih olehnya. Bergitu pula sebaliknya. Hati tidak memilih. Hati dipilih. Karena hati tidak perlu memilih, ia selalu tahu kemana harus berlabuh. Dan aku tetap mengagumimu dari jauh dalam diamku.

Selasa, 17 Februari 2015

Hujan


Dan hujan masih setia kembali
menarikan rintik rintik nyeri
bersama kidung irama sunyi


dan aku
masih seperti tadi
menyudut sepi diantara gelas gelas kopi


aku kira
dipetang tak hujan
sebab kurindu awan
berpayung lembayung


aku kira
dipetang tak hujan
sebab ruangku usang
kurindu senja bukan hujan


aku kira
dipetang tak hujan
sebab aku bosan
kurindu siluet kekuningan


Dan hujan
masih setia kembali
dan aku masih seperti tadi
menyudut sepi diantara gelas gelas kopi

Sabtu, 31 Januari 2015

Tentang Rasa Tak Bernama


Malam ini aku kembali ditemani oleh butiran butiran air hujan yang sejak tadi siang tak kunjung mereda. Entah kenapa, pikiranku mulai melayang ketika melihat secangkir kopi yang berada tak jauh dari jarak pandangku. Pikiranku mulai kembali mengingat rasa tak bernama itu. Rasa yang selalu menghantuiku ketika aku berada di tengah tengah keheningan malam. Rasa yang selalu datang dan menghilang tanpa alasan. Rasa yang selalu berhasil membawaku terbang ke bulan dan menjatuhkanku di jurang yang paling dalam. Rasa yang membuatku bertahan. Rasa itu selalu mengingatkanku pada beberapa malaikat yang terkadang berada sangat dekat, dan lebih dekat seakan ada lem yang menempel disetiap sudutnya.
Ah, ini hanyalah sebuah rasa. Rasa yang tak pernah berguna. Rasa itu hanyalah sebuah ilusi. Hanyalah sebuah  I L U S I. Ilusi yang tak pernah ada habisnya. Seberapa lama rasa ini akan terus menghantui? Seberapa lama rasa ini akan terus menyerang seluruh anggota badanku seperti layaknya sebuah penyakit ganas yang paling mematikan dan belum ada penawarnya? Apakah ia akan berakhir jika aku sudah tiada? Selama itukah? Sampai detik ini, menit ini pun aku masih bertahan. Bertahan untuk melawan rasa itu. Rasa yang seharusnya tak boleh terjadi. Dan aku harus bisa menyingkirkannya dari dalam diri ini. Tapi apa? Apa yang aku bisa? Aku tak tahu apa yang harus aku lakukan. Sementara rasa itu sendiri semakin mengakar dalam jantung. Sampai sampai detak jantung pun semakin bergerak cepat saat rasa itu mulai datang. Dan ketika itu terjadi, aku hanya bisa diam seribu bahasa. Mulut seakan terkunci dengan sepuluh ribu gembok yang kuncinya sudah terbuang entah kemana. Sulit sekali untuk mengatakan kalau aku tak menginginkan rasa itu hadir.
Bodoh ! ya, memang semua orang yang memiliki rasa itu akan tampak terlihat seperti orang bodoh. Melakukan semua hal diluar kendali mereka. Ya, aku tahu jika aku diam maka rasa itu akan semakin menyerangku dengan bakteri bakterinya itu. Tetapi jika aku berusaha melawannya itu hanya akan menyakiti diriku sendiri. Ah,konflik lagi..

Biarkan saja rasa itu menggerogoti tubuhku, biarkan saja aku menderita karna keputusanku sendiri. Jika itu lebih baik, biarkan saja rasa itu terbawa dalam hembusan nafas disela sela hidupku. Aku hanya ingin tertidur lelap di malam yang dingin ini. Bermimpi melihat bulan dan bintang bintang yang menerangi langit malam. Dan berharap ada satu kesatria yang berhati mulia berkorban demi sebuah rasa tak bernama.
 
Aalona's Blogger Template by Ipietoon Blogger Template