Minggu, 10 April 2016

Menyapa Senja


Teruntuk senja yang jingga,

Hai, apa kabar senja? Bukankah kita sudah lama tak bertemu? Oh, aku lupa. Aku lupa bahwa kita selalu bertemu. Bertemu di tempat yang sama namun tak pernah bertegur sapa. Bertemu di waktu yang sama namun hanya memandang mata. Bertemu di rasa yang sama namun tak sanggup berkata.
Tahun lalu, aku masih ingat ketika aku bersamamu senja. Tertawa lepas tanpa alasan. Beradu mulut tanpa takut ada yang terluka. Berdua tanpa peduli apa yang mereka katakan tentang kita. Kita masih sedekat nadi. Masih ada kata kita diantara kata. Masih ada. Masih sebelum akhirnya kita saling melepas. Melepas semua rasa yang kau pendam. Melepas semua. Mungkin yang tersisa adalah aku yang tak pernah mengerti dan kau yang berhenti peduli. Kau yang berpaling padanya dan berkata bahwa takkan ada cinta yang lain lagi.

 Kau yang berkata bahwa cintamu telah terganti. Kau yang merasa bahwa kita tak sehati. Katamu rasa ini mati. Sudah terlalu lama terbalut sendu yang kubuat sendiri. Katamu aku tak pernah mengerti. Tak pernah mengerti bahwa ini bukan ilusi. Ini bukanlah sebuah mimpi. Separuhnya kau benar, separuhnya kau salah. Kau benar, aku tak pernah peduli. Tentang rasamu, tentangmu yang selalu memandangku, tentangmu dan secangkir kopi kesukaanmu. Kau salah,  ingin aku tanyakan padamu, apakah kau sadar bahwa kau tak pernah mengungkapkan rasamu padaku? Apakah ini sepenuhnya salahku? Salahku yang tak pernah sadar kau mengungkapkan lewat lakumu. Kau bukan satu satunya yang terluka. Sadarkah kau di balik gadis bodoh ini tersimpan sosok perempuan yang tak ingin kau sakit? Sadarkah kau bahwa dalam diriku yang mungkin tak pernah berarti apapun bagimu ini ada seorang perempuan yang sedang menjaga cintanya hanya untukmu satu-satunya? Sadarkah kau bahwa dalam rumitnya sikapku, tersembunyi seorang perempuan yang ingin kau seperhatian dulu lagi. Sadarkah kau, aku sendiri menahan nyeri. Berulang kulafal rasa sesaknya sama. Sadar pada akhirnya aku akan sendiri.

Tapi lihat dan dengarlah senja.
Jika kau sekarang berpikir bahwa kau mengagumiku, mungkin jawabannya iya. Jika kau berpikir bahwa kau memujaku, mungkin jawabannya iya. Dan jika kau berpikir bahwa rasa kagummu itu berubah menjadi cinta, maka jawabannya tidak.
Kau tidak benar benar mencintaiku senja. Apakah itu uangku, nama, dan gengsi yang kau dapatkan karena mendapatkanku, ataukah rupaku, aku tidak tahu, tetapi yang jelas, itu bukan cinta.
Karena, jika kau cinta kepadaku, maka kau akan berusaha begitu keras untuk membuat yang kau cintai berpaling kepadamu, tidak berjalan ke arah orang lain. Berusaha begitu keras sehingga rasanya dirimu hampir gila. Hingga terkadang, ada saatnya kau ingin lari ke pelukan orang lain saja. Kau lelah mempertahankan segalanya ketika perlahan lahan, tetapi pasti, segalanya hancur di depan matamu tanpa kau tahu mengapa. Dan, ketika kau pergi ke pelukan orang lain, kau tahu segalanya tidak mungkin bisa jika hanya cinta selewat dan main main.
Tetapi, ketika kau gagal mempertahankan cintamu, dan cintamu itu pergi, kau akan memperhatikannya dari jauh, sambil mengutuk keras dalam hati. Kesal dan amarah ada padamu. Tetapi, jika cintamu berkata kepadamu bahwa ia menginginkan orang lain, kau hanya akan mengangguk, kau berharap cintamu kan bahagia bersama orang lain itu. Dan kau takkan memaksanya kembali ke dalam pelukanmu lagi walau hatimu berkata tidak.

Dari perempuan ,

yang selalu berubah menjadi sedingin es pada senja.
 
Aalona's Blogger Template by Ipietoon Blogger Template