Ini tentang kita. Kita yang dulu
pernah bertemu dalam nuansa hening di kotaku. Segala pertemuan kita berawal
dari sebuah tatap. Tatapan mata yang tanpa arti, tanpa rasa, dan tanpa apapun.
Tatapanmu hampa. Beranjak pada sebuah perkenalan sederhana. Kau memulai
memperkenalkan dirimu secara perlahan dan aku sendiri hanya bisa terdiam. Aku
terpukau pada awal pertemuan kita. Dengan segala prestasi yang melekat erat
pada pundakmu dibingkai dengan wajah tampanmu itu, ah, kau bisa membuatku luluh
begitu cepat.
Dan hari itu juga adalah
pertemuan kita yang pertama dan
terakhir. Karena setelah pertemuan itu kau tak lagi ada. Dan kau takkan lagi
ada. Sudah berulang kali aku mencoba mencarimu di tempat yang sama, di kota
yang sama, dan pada jam yang sama tapi tak ada satupun yang berhasil. Sering
kali aku salah, kukira orang yang kulihat sekilas itu kamu tapi nyatanya itu
hanya imajinasiku. Aku terlalu sering memikirkanmu. Aku tak dapat menemukanmu.
Dan aku menyerah. Aku takkan lagi mencarimu, mungkin kita yang dulu bertemu di
kota ini hanya untuk sekedar bertukar cerita atau mungkin memang aku yang
terlalu banyak berharap darimu. Tapi aku masih berada dalam sebuah
ketidakpastian. Aku masih bersama bayang bayangmu yang semu. Aku mencintaimu.
Entah kenapa.
Hari ini di kotaku...
Entah kenapa sekarang kau berada
disampingku tanpa perlu aku mencarimu lagi. Suasana hujan yang sama dan hari
yang sama kembali mengingatkanku saat pertemuan pertama kita. Bau tanah menambah suasana nyaman untuk menikmati
anugerah Tuhan yang tercurah lewat butiran- butiran air dari langit. Ini satu tahun pertemuan
kita. Percaya atau tidak aku masih menunggumu selama ini. Semua masih sama, kau
masih tampak seperti yang dulu. Pria tampan berselimutkan prestasi hebatmu. Hanya
saja, aku merasakan ada yang berbeda. Entah di bagian mana, aku hanya merasakan
tatapan itu tak lagi seperti dulu. Rasanya posisi kita bukan lagi menjadi
seorang teman tetapi terasa seperti seorang senior yang sedang mendidik
juniornya. Kau hanya datang memberikan secarik kertas, menjelaskan semua isi
kertas, dan kemudian terdiam disampingku. Aku tak tahu apa yang sedang kau
lakukan. Jika bibr ini mampu bertanya, aku akan bertanya padamu apa maksud
semua kedatanganmu kali ini.
Seandainya saja kau itu seperti
hujan, selalu kurindu kedatangannya, yang selalu setia menemaniku saat awan
mendung mulai beranjak pergi. Kau menahanku untuk tetap tinggal di kota ini
dengan bulir bulir air yang turun. Butiran air yang berisikan semangat, canda
tawa, kepercayaan, kisah sedih dan bahkan kisah yang salah diantara kita.
Sikapmu seperti aliran air hujan yang terkadang jatuh perlahan tapi pasti.
Datang perlahan membawa rasa dari langit lalu mengalir deras ke segala arah
untuk mengepungku. Membiarkanku untuk menunggu walau berapa pun jarak dan
waktu yang akan aku lewati. Ketika hujan
pergi, ia tak pernah lupa menaruhkan busur perjanjiannya dengan tujuh warna
berbeda tetapi punya satu keindahan yang seharusnya tak boleh dilewatkan.
Bukankah itu ilustrasi yang terlalu tinggi? Bagaimana dengan kenyataan yang
sebenarnya terjadi? nyatanya semua itu tak pernah terjadi. Kau datang secepat
cahaya kilat dan pergi meninggalkan suara menggelegarmu itu. Meninggalkan
perubahan perubahan yang membuatku sempat terluka.
Aku kembali rapuh saat hujan hari
ini mereda. Itu artinya pertemuan yang dingin ini akan segera berakhir. Entah
apa yang kurasakan hari ini. Aku senang melihatmu kembali tapi disisi lain aku
merasa kamu bukan lagi seorang teman yang dulu kukenal. Sikapmu yang dulunya
sangat humble, peduli, kini berubah menjadi pendiam dan cuek. Aku harap ini
hanya sebuah drama, hanya sebuah rekayasa belaka. Aku takut, ya aku takut jika
kau memang benar benar tak mengharapkan pertemuan ini terjadi. Jika memang jarak
yang menyusahkan pertemuan ini, kau sendiri pernah berkata jarak itu tak ada
artinya, dia cuma sebatas nama pohon yang takkan pernah bisa memisahkan
hubungan seseorang dengan yang lainnya.
Tapi tak bisa aku pungkiri, ada
rindu yang diam diam tertanam ketika ragamu tak mampu kurengkuh, ketika
kehadiranmu tak selalu aku rasakan. Apa yang menyenangkan dalam jarak sejauh
ini? Kita seperti gedung gedung tinggi di Jakarta, saling berhadapan tapi
enggan bersentuhan. Sejauh ini aku masih bisa bertahan, entah mempertahankan
apa. Kulakukan semua seakan baik baik saja, seakan aku tak terluka, seakan tak
ada air mata. Sudah saatnya. Aku dan kamu kembali mengakhiri pertemuan kita,
entah kapan kita bisa bertemu kembali. Suatu petang di batas kotaku, kita
berpisah ( lagi).