Sabtu, 30 Juli 2016

Sewindu Tanpamu


“ Kinan !!” Sapa lelaki itu sambil melambaikan kedua tangannya. Aku tersenyum menghampirinya.
“ Apa kabar? Sudah lama kita tak bertemu ya.” Aku mengulurkan tanganku saat sampai di depan lelaki itu. Dia memandangku lalu tertawa lepas. Diraihnya tanganku, kedua matanya berbinar - binar. Tampaknya dia sedang bahagia, batinku.

“ Seharusnya aku yang berkata seperti itu padamu. Aku baik baik saja, kau bisa lihat sendiri. Bagaimana denganmu? Bagaimana dengan sekolahmu? Masih lemah di bidang perhitungan kah?” Dia memutarkan badannya lalu mengangkat sebelah alisnya. Dia tersenyum memamerkan deretan gigi putihnya yang tersusun rapi itu. Aku menghela nafas. Sebenarnya siapa yang dewasa? Dia atau aku? Sudah lama  aku tak bertemu dengannya, tapi tetap saja tingkahnya seperti anak kecil.

“ Aku? Aku baik baik saja. Ya, baik baik saja dan masih dengan keadaan yang sama.” Ucapku malas. Dia menatapku lama. Aku hanya memalingkan wajahku. Malu. Dia tersenyum, tapi kali ini senyumnya berbeda. Tiba - tiba tangannya bergerak menuju kepalaku. Menepuk bagian atas kepalaku dan mengacak - acak rambutku pelan.

“ Heii, jangan mengacak - acak rambutku! Berapa kali harus kubilang padamu aku benci menyisir ulang rambutku?!” gerutuku sambil menepis tangannya. Dia tertawa lebar. Aku cemberut sembari merapikan kembali rambutku yang berantakan.

“ Hahaha, ternyata kau memang belum berubah ya. Masih sama seperti dulu waktu kita sering bertemu.” Dia mencubit hidungku gemas. Lalu kedua tangannya menangkup pipiku. Kepalanya sedikit dimiringkan ke kanan. Aku menautkan kedua alisku sehingga tampak kerutan di bagian dahi.
“ Pipinya juga sama. Masih seperti bakpao. Hahahaha” ejeknya lagi. Kedua matanya menyipit, rona merah juga merambat hingga telinganya, tangannya memegang perutnya karena terlalu banyak tertawa. Oh astaga, kenapa dia tampak sangat tampan saat tertawa. Apakah ini termasuk cobaan untuk bisa melupakannya? Bagaimana bisa aku melewatinya jika dia kembali seperti ini?

Aku menghela napas lagi. Tawanya mulai terhenti. Dia kembali memandangku, menatap tepat di manik mataku. Tatapannya berubah tajam, seolah - olah sedang mencari sesuatu yang sedang aku sembunyikan. Sudah hampir lima belas menit berlalu, tak ada sepatah kata apapun yang terdengar selain bunyi angin malam. Ah, aku tidak tahan lagi, aku harus mengakhirinya.

“ Apa yang sedang kau cari? Berapa lama kita akan terdiam seperti ini?” tanyaku memecahkan suasana. Dia menghela napasnya.

“ Aku sedang mencari sebuah kejujuran, tapi yang kulihat di matamu hanyalah sebuah kebohongan belaka. Aku tahu, kau tidak benar – benar dalam keadaan baik sekarang. Apakah pertemuan ini menyulitkanmu?” tanyanya pelan. Seperti seorang pemanah yang ahli, pertanyaannya melesat tepat pada sasaran. Aku tertawa miris. Ya, aku sedang tidak baik – baik saja dan itu karenamu, batinku.

“ Itu bukan urusanmu. Urusi saja karir dan kuliahmu disana, jadi orang sukses. Bukankah itu yang kau inginkan dari dulu?” tanyaku.

“ Tapi aku tak menginginkan kau tampak sekalut ini. Aku tak bisa meninggalkanmu saat kau sendiri menyangkal kenyataan ini. Oh ayolah, I know you so well Ki, bukankah kita sudah berteman lama? Aku tahu aku sudah meninggalkanmu selama...”

“ Sewindu.” Sahutku tersenyum miris.

“ Sudah sewindu Yos, bahkan sampai sekarang semua yang ada padaku masih mengingatmu. Miris ya? Aku tahu itu.” ujarku lagi. Dia tersentak kaget. Dia menoleh ke salah satu toko bunga terdekat lalu berjalan ke toko tersebut.

“ Tunggu sebentar.” Ucapnya sebelum masuk ke toko itu. Beberapa menit berlalu, dia kembali datang membawa sebuket bunga di tangannya. Di dalam buket itu tampak bunga anyelir kesukaanku dan beberapa tangkai bunga azalea. Dia berhenti tepat di depanku. Ia menghela napasnya panjang. Diraihnya tanganku.

“ Ini untukmu.”

“ Dalam rangka apa kau memberiku bunga? Ini bukan hari ulang tahunku.”

“ Say it with flowers. Masih ingat tentang kata - kata yang kau ucapkan saat kita masih sering bernyanyi dan bermain bersama?”

“ Aku ingat, tetapi apa maksudmu melakukan semua ini Yos?” tanyaku heran. Lelaki yang kupanggil Yosa itu kembali tersenyum dan memposisikan dirinya di dekat tiang lampu jalanan. Tubuhnya bersandar di tiang itu, wajahnya menengadah ke atas memandangi langit yang kelabu.

“ Aku tahu ini sangat sulit bagimu, begitu juga aku, dan sebagai hadiahnya aku memberikan ini untukmu. Anggap saja ini sebagai permintaan maafku dan pertemuan terakhirku. Anyelir merah muda untuk awal pertemuan kita dan anyelir kuning sebagai perpisahan kita.” Jelasnya. Aku terdiam memandangi sebuket bunga yang sudah berpindah ke tanganku. Astaga, apakah ini perpisahan keduaku dengannya? Perpisahan lagi? Tidak cukupkah ia membuatku sesakit ini? Aku kira dia akan tetap bersamaku disini.

“ Bagaimana jika aku mengasihimu sesederhana ini, dan selamanya akan terus begitu?” aku mengambil setangkai bunga azalea lalu menyerahkannya pada lelaki itu. Ia tersenyum,  kali ini matanya tampak sayu. Tak ada lagi wajah ceria saat awal pertemuan tadi, yang kulihat hanyalah mendung. Aku tak pernah melihatnya tampak sesedih ini sebelumnya.

“ Bukankah sudah ada dia yang bisa menggantikan posisiku sekarang? Aku tahu kau sedang dekat dengan laki – laki lain. Aku juga tahu itu bentuk usahamu melupakan kita, aku hargai itu. Karena aku pun melakukan hal yang sama, walau mungkin dengan cara yang berbeda.” Ujarnya pelan. Aku tersentak kaget. Mendengar ucapannya tadi berhasil membuatku diam tak berkutik. Entah harus mulai darimana aku menjelaskannya. Aku juga tahu ini bukanlah hal yang mudah.

Sudah sewindu sejak kepergiannya aku belajar dewasa, sudah sewindu aku berjuang tanpanya, sudah sewindu pula aku mencoba mengingatnya hanya sebatas kenangan, tetapi tetap saja posisinya takkan terganti. Walaupun pada akhirnya akan ada laki – laki lain yang masuk dalam hidupku, ia akan tetap memiliki satu tempat spesial. Karena dia bisa menjadi sosok ayahku, sahabatku, kakakku, pembimbing belajarku, pacarku, ataupun hanya sekadar teman main. Aku benci keadaan seperti ini. Aku benci setiap pertemuan yang selalu berujung perpisahan, atau mungkin karena aku takut kehilangan. Aku mencoba menatap kedua matanya. Namun sayang yang kudapat hanyalah luka, sama sepertiku.

“ Bagaimana jika  semua usahaku itu gagal? Bagaimana jika aku akhirnya hanya akan menyakiti laki – laki itu? Aku takut Yos, aku takut.” Kataku pelan. Kepalaku tertunduk tak berani menatapnya. Sudah lama aku ingin mengatakan ini padanya. Entah keberanian darimana yang merasukiku hingga aku mampu mengungkapkannya sekarang. Dia menoleh kearahku, menghela napasnya panjang.

“ Kau pasti bisa Ki. Mana Kinan yang selalu suka mencoba hal baru? Mana Kinan yang selalu pantang menyerah? Mana Kinan yang selalu ingin bahagia? Mana Kinan yang...”

“ Mana Yosa yang selalu membantuku belajar matematika? Mana Yosa yang selalu menyemangatiku saat aku ada ujian? Mana Yosa yang selalu suka hujan? Mana Yosa yang selalu suka membuat lagu baru? Mana Yosa yang selalu mengiringiku bernyanyi dengan gitar? Mana Yosa yang selalu bernyanyi untukkku saat malam? Mana Yosa bisa membuatku putus asa dan mencinta pada waktu yang sama? Mana Yos?!” bentakku padanya. Tetesan air mulai turun membasahi pipiku. Entah sudah berapa lama aku membendungnya, akhirnya tetap saja aku menangis. Menetes untuk kesekian kalinya untuk orang yang sama. Rasa sesak itu kembali menjalar. Dia berjalan ke arahku, meraihku dalam dekapannya erat.

“ Untuk apa aku bersamanya jika aku masih berada dalam bayanganmu? Untuk apa aku berusaha melupakanmu jika sifatnya sama sepertimu Yos? Untuk apa aku bersamanya jika aku malah semakin mengingatmu saat berada di dekatnya? Bukankah itu hanya akan membuat aku merasa bersalah padanya?” kataku lirih.  Dia hanya diam seperti biasanya, mengelus bagian belakang kepalaku pelan, membiarkanku menangis hingga lelah dalam pelukannya. Beberapa menit berlalu, tangisku mereda seiring pelukannya yang semakin merenggang.

“ Sekarang hatimu benar – benar patah bukan? Jadi, dongeng kita sudah berakhir. Benar – benar berakhir. Sekarang yang tersisa dari cerita ini adalah kamu, karena aku terlalu hina. Adalah kamu, karena aku hanya akan menghancurkan semuanya. Bangun cerita barumu Ki, aku tahu dengan atau tanpamu semua pasti berbeda.” Dia mengusap sisa tetesan air mata yang masih mengalir di pipiku. Aku tersenyum, kali ini aku mengerti maksud kedatangannya kembali. Ia  ingin menuntaskan semua persoalannya denganku. Lalu memulai kehidupan baru tanpa perlu terbeban masa lalu.

“ Ya, aku benar – benar patah. Sekarang aku paham bagaimana rasanya benar – benar kehilangan dan benar – benar patah. Bersamamu membuat sadar bagaimana cinta datang secara terbiasa, tanpamu membuatku mengerti selama sewindu yang kau ciptakan hanyalah sebuah retakan. Retak itu berbeda dengan patah. Retak itu tak dapat diperbaiki karena ia belum sepenuhnya patah. Ia hanya akan menyisakan bekas - bekas luka yang tak akan hilang sebelum kau benar – benar membuatnya patah. Setelah patah barulah ia bisa diperbaiki dengan yang baru bukan?” kataku sambil tersenyum. Ia ikut tersenyum.

“ Ya tentu, maaf jika selama ini aku sering membuatmu menangis. Pertemuan ini berakhir, terima kasih gadis terkasihku. Tetaplah jadi gadis misterius, gadis yang penuh kejutan di setiap waktunya, sejujurnya itu daya tarikmu. Aku mengasihimu Kinan.” Katanya sambil melangkah menjauh dariku. Langkahnya semakin menghilang di ujung perempatan jalan.

Aku terdiam, mungkin ucapannya memang ada benarnya. Aku harus menulis kembali cerita yang baru di lembar yang baru pula. Tak mungkin aku menulis sebuah cerita baru di kertas yang lusuh. Itu hanya akan membuatku tampak seperti aksara yang tak ingin dibaca orang. Aku tak begitu yakin bisa melewati ini seperti yang sudah kulalui selama sewindu ini, tetapi ketika melihatnya seoptimis itu aku percaya yang dikatakannya adalah kebenaran.


Di bawah sinar purnama yang sempurna, kisahku kembali berawal dari sini. Kehidupan itu berjalan sekali dan terlalu singkat untuk terus mengikuti cerita lalu. Kini biarkan aku dikejar masa depan tanpa terlalu sering bermain di masa lalu. Aku mengasihimu.
 
Aalona's Blogger Template by Ipietoon Blogger Template