Senin, 27 April 2015

Suatu Petang di Kotaku


Ini tentang kita. Kita yang dulu pernah bertemu dalam nuansa hening di kotaku. Segala pertemuan kita berawal dari sebuah tatap. Tatapan mata yang tanpa arti, tanpa rasa, dan tanpa apapun. Tatapanmu hampa. Beranjak pada sebuah perkenalan sederhana. Kau memulai memperkenalkan dirimu secara perlahan dan aku sendiri hanya bisa terdiam. Aku terpukau pada awal pertemuan kita. Dengan segala prestasi yang melekat erat pada pundakmu dibingkai dengan wajah tampanmu itu, ah, kau bisa membuatku luluh begitu cepat.
Dan hari itu juga adalah pertemuan kita yang  pertama dan terakhir. Karena setelah pertemuan itu kau tak lagi ada. Dan kau takkan lagi ada. Sudah berulang kali aku mencoba mencarimu di tempat yang sama, di kota yang sama, dan pada jam yang sama tapi tak ada satupun yang berhasil. Sering kali aku salah, kukira orang yang kulihat sekilas itu kamu tapi nyatanya itu hanya imajinasiku. Aku terlalu sering memikirkanmu. Aku tak dapat menemukanmu. Dan aku menyerah. Aku takkan lagi mencarimu, mungkin kita yang dulu bertemu di kota ini hanya untuk sekedar bertukar cerita atau mungkin memang aku yang terlalu banyak berharap darimu. Tapi aku masih berada dalam sebuah ketidakpastian. Aku masih bersama bayang bayangmu yang semu. Aku mencintaimu. Entah kenapa.
Hari ini di kotaku...
Entah kenapa sekarang kau berada disampingku tanpa perlu aku mencarimu lagi. Suasana hujan yang sama dan hari yang sama kembali mengingatkanku saat pertemuan pertama kita. Bau tanah  menambah suasana nyaman untuk menikmati anugerah Tuhan yang tercurah lewat butiran- butiran  air dari langit. Ini satu tahun pertemuan kita. Percaya atau tidak aku masih menunggumu selama ini. Semua masih sama, kau masih tampak seperti yang dulu. Pria tampan berselimutkan prestasi hebatmu. Hanya saja, aku merasakan ada yang berbeda. Entah di bagian mana, aku hanya merasakan tatapan itu tak lagi seperti dulu. Rasanya posisi kita bukan lagi menjadi seorang teman tetapi terasa seperti seorang senior yang sedang mendidik juniornya. Kau hanya datang memberikan secarik kertas, menjelaskan semua isi kertas, dan kemudian terdiam disampingku. Aku tak tahu apa yang sedang kau lakukan. Jika bibr ini mampu bertanya, aku akan bertanya padamu apa maksud semua kedatanganmu kali ini.
Seandainya saja kau itu seperti hujan, selalu kurindu kedatangannya, yang selalu setia menemaniku saat awan mendung mulai beranjak pergi. Kau menahanku untuk tetap tinggal di kota ini dengan bulir bulir air yang turun. Butiran air yang berisikan semangat, canda tawa, kepercayaan, kisah sedih dan bahkan kisah yang salah diantara kita. Sikapmu seperti aliran air hujan yang terkadang jatuh perlahan tapi pasti. Datang perlahan membawa rasa dari langit lalu mengalir deras ke segala arah untuk mengepungku. Membiarkanku untuk menunggu walau berapa pun jarak dan waktu  yang akan aku lewati. Ketika hujan pergi, ia tak pernah lupa menaruhkan busur perjanjiannya dengan tujuh warna berbeda tetapi punya satu keindahan yang seharusnya tak boleh dilewatkan. Bukankah itu ilustrasi yang terlalu tinggi? Bagaimana dengan kenyataan yang sebenarnya terjadi? nyatanya semua itu tak pernah terjadi. Kau datang secepat cahaya kilat dan pergi meninggalkan suara menggelegarmu itu. Meninggalkan perubahan perubahan yang membuatku sempat terluka.
Aku kembali rapuh saat hujan hari ini mereda. Itu artinya pertemuan yang dingin ini akan segera berakhir. Entah apa yang kurasakan hari ini. Aku senang melihatmu kembali tapi disisi lain aku merasa kamu bukan lagi seorang teman yang dulu kukenal. Sikapmu yang dulunya sangat humble, peduli, kini berubah menjadi pendiam dan cuek. Aku harap ini hanya sebuah drama, hanya sebuah rekayasa belaka. Aku takut, ya aku takut jika kau memang benar benar tak mengharapkan pertemuan ini terjadi. Jika memang jarak yang menyusahkan pertemuan ini, kau sendiri pernah berkata jarak itu tak ada artinya, dia cuma sebatas nama pohon yang takkan pernah bisa memisahkan hubungan seseorang dengan yang lainnya.
Tapi tak bisa aku pungkiri, ada rindu yang diam diam tertanam ketika ragamu tak mampu kurengkuh, ketika kehadiranmu tak selalu aku rasakan. Apa yang menyenangkan dalam jarak sejauh ini? Kita seperti gedung gedung tinggi di Jakarta, saling berhadapan tapi enggan bersentuhan. Sejauh ini aku masih bisa bertahan, entah mempertahankan apa. Kulakukan semua seakan baik baik saja, seakan aku tak terluka, seakan tak ada air mata. Sudah saatnya. Aku dan kamu kembali mengakhiri pertemuan kita, entah kapan kita bisa bertemu kembali. Suatu petang di batas kotaku, kita berpisah ( lagi).

0 komentar:

 
Aalona's Blogger Template by Ipietoon Blogger Template